Sabtu, 08 Januari 2011

Makalah Pro dan Kontra Poligami

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
             Ada beberapa pasal dalam Undang-undang Perkawinan yang dianggap oleh beberapa kalangan mengukuhkan subordinasi perempuan, yaitu Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, kesemua pasal itu tentang kebolehan poligami (yang lebih jelasnya akan kita urai sesuai dengan topik bahasan), serta Pasal 31 ayat (3) bahwa suami kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Atau, Pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. (Untuk Pasal 31 dan pasal 2 kita kesampingkan agar fokus ke pasal 3,4 & 5).
             Masalah poligami yang timbul dari politik hukum (legal policy) waktu proses pembentukan UUP, dalam dasawarsa terakhir sangat menarik untuk kita cermati sekaligus kita ulas, adanya pasal tentang pembolehan poligami bagi seorang suami yang ada pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ternyata membawa reaksi beragam, respon yang nyata sampai sekarang paling tidak sudah ada tiga versi draf usulan perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masing-masing dibuat oleh Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Korps Wanita Indonesia (KOWANI), dan yang terakhir milik LBH-APIK.
             Dua draf pertama sudah ada sejak awal tahun 2000. Draf milik Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan sudah dipersiapkan sejak menterinya dijabat oleh Khofifah Indar Parawansa, sedangkan, draf milik KOWANI kabarnya sudah ada sejak akhir tahun 90 an. Kabar terakhir, draf yang disusun KOWANI telah masuk ke Senayan lewat jalur Badan Legislasi DPR.
             Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula pihak yang berseberangan dengan kubu yang menghendaki perubahan Undang-undang Perkawinan. Pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat merupakan salah satu institusi yang secara tegas menolak adanya amandemen terhadap Undang-undang Perkawinan. MUI menganggap Undang-undang Perkawinan yang telah ada, tidak perlu lagi dilakukan revisi, baik pasal ataupun ayatnya, termasuk didalamnya tentang kebolehan poligami bagi laki-laki (yang tentunya dengan persyaratan yang ketat). MUI menganggap bahwa mereka yang menghendaki revisi hanya berdalih UUP telah mendiskriminasikan perempuan sebagai alasan utama, padahal sama sekali tidak demikian adanya, UUP sejatinya telah mengakomodir kebutuhan konstitusi Negara Indonesia yang notabene mayoritas dihuni oleh umat muslim, maka kebolehan Poligami dalam Al-qur’an patut kiranya dan seyogyanya menjadi keharusan di beck up oleh perundang-undangan.
             Pandangan berbagai usulan mengenai perubahan UUP agaknya tidak lepas dari panjang dan beratnya pembahasan RUU Perkawinan di DPR 34 tahun silam, pembahasan RUU Perkawinan di DPR kala itu menjadi polemik yang panas di berbagai media massa. Panasnya polemik yang berkembang di tengah pembahasan RUU Perkawinan di penghujung 1973 tercermin dalam salah satu artikel yang ditulis oleh alm. Prof. Dr. Mr Hazairin, pakar hukum Islam dan hukum adat. Dalam artikel "Beberapa Komentar atas RUU Perkawinan" yang dimuat di Harian KAMI pada tanggal 18 September 1973, Hazairin mengingatkan para anggota DPR untuk berhati-hati dalam membahas RUU tersebut, khususnya terkait soal ketentuan tentang masa iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya. Berikut petikannya: "Anggota-anggota DPR yang beragama Islam dan sekarang menghadapi Rancangan Undang-undang Perkawinan yang mengandung pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Qur'an seperti dengan Q.9 : 37 itu dan menerima baik pelanggaran yang besar itu, samalah dengan menjadikan dirinya sebagai orang-orang yang mengabaikan imannya dan taqwanya kepada Allah, dengan dan karena mengubah atau menyelewengkan (tujuan dan maksud) ayat-ayat Qur-an. Maka sekurang-kurangnya akan menjadi fasik! Lihat Q.33 : 36 dan sanctumnya Q.4 : 14…".
             Setelah melalui pembahasan yang cukup alot, DPR akhirnya mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, Dan Undang-Undang tersebut masih berlaku sampai sekarang tanpa adanya perubahan, termasuk pasal yang membahas poligami yang sekarang ini banyak pro dan kontra dalam pelaksanannya, inilah tonggak besar yang terjadi dalam politik hukum (legal policy) di bumi Indonesia, poligami yang notabene dibolehkan dalam Al-Qur’an yang di follow up oleh Undang-unadang Perkawinan adalam merupakan kemenangan umat Islam, walau ada reaksi keras dari berbagai kalangan, toh Undang-undang Perkawinan tersebut masih eksis hingga kini.

B.     Permasalahan
             Masalah pro kontra poligami ini adalah masalah yang sangat menarik, oleh karenanya perlu untuk dikaji lebih lanjut pembahasan tersebut, maka menurut hemat penulis ada beberapa poin yang layak untuk dijadikan bahan pemikiran, yaitu :
1.      Bagaimana bunyi pasal tentang poligami dalam UUP dan secara singkat bagaimana proses peradilannya di Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam memutus pembolehan izin poligami terhadap perkara yang diajukan ?
2.      Bagaimanakah dengan isu diskriminasi terhadap wanita oleh sebagian kalangan yang kontra terhadap pembolehan poligami melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ?
3.      Bagaimana pro dan konta terhadap Poligami ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Poligami Menurut Islam
             Perkawinan adalah jembatan bagi pasangan suami dan isteri untuk meraih ketenangan, cinta dan kasih sayang maka poligami juga bertujuan untuk itu. Sebagaimana yang disinggung oleh ayat al-Qur’an:
             “Allah menjadikan pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri; supaya kalian merasakan ketenangan dan menjadikan diantara kalian cinta dan kasih sayang; sesugguhnya yang demikian ini adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir”.
             Dua tujuan perkawinan yang telah disebutkan di atas mewakili tujuan-tujuan yang sifatnya non materi. Sedangkan tujuan perkawinan seseorang yang sifatnya materi yang dimensi, berbanding searah dengan jumlah yang melakukannya.
             Perkawinan juga merupakan sarana untuk mengendalikan dan menyalurkan kebutuhan seks. Perkawinan dapat mencegah perzinahan. Imam Shadiq a.s berkata,“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat azabnya pada hari kiamat adalah yang meletakkan nutfahnya dalam rahim yang haram baginya (zina)”. Sebagaimana perkawinan adalah sebuah lembaga yang dapat menyelesaikan banyak masalah sosial, poligami juga demikian.
             Kebolehan poligami dalam Islam jangan dipandang sebagai sebuah keharusan. Sebagaimana perkawinan itu sendiri tidak harus (baca: wajib) bagi setiap orang. Boleh jadi kondisi mengharuskan seseorang untuk menikah, namun bisa saja bagi orang lain haram dan yang lainnya sunnah, makruh atau sah-sah saja (mubah). Semua tergantung pada kondisi pribadi masing-masing. Poligami pun demikian. Poligami dalam Islam tidak disyariatkan untuk semua orang. Hukum poligami disiapkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana untuk menanggulangi beberapa masalah yang ditemui oleh pasangan suami isteri dalam perkawinannya atau karena ada tujuan-tujuan lebih penting lainnya. Sebagaimana hal itu dengan gamblang disebutkan pada awal ayat yang membolehkan berpoligami.
             Sekalipun kedua syarat di atas (adanya problem dalam rumah tangga baik dari sisi suami atau wanita dan guna meraih tujuan mulia lainnya) telah dimiliki oleh seseorang, bukan berarti ia langsung bisa melakukan poligami begitu saja. Ada satu hal penting yang harus dimiliki seorang suami. Dan, itu adalah siap untuk berlaku adil. Sebagaimana disebutkan pada akhir ayat tiga surat an-Nisa’, ‘...Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka seyogyanya beristeri tidak lebih dari satu ....”.
             Syarat terakhir (berlaku adil) yang diberlakukan oleh Allah bukan untuk memberatkan apalagi mengharamkan masalah poligami, namun itu lebih nyata pada dampak sosial yang akan terjadi bila seorang suami tidak berlaku adil kepada isteri-isterinya. Terlebih-lebih ayat tersebut berkaitan erat dengan pengasuhan anak yatim yang setelah ditinggal ayahnya, ia masih harus menerima perlakuan tidak adil dan itu tentunya akan diwarisinya. Artinya generasi yang akan dihasilkan bukan yang baik dan menyenangkan dan bisa mendoakan orang tuanya tetapi malah sebaliknya. Tentu ini bertolak belakang dengan tujuan perkawinan tadi. Terlebih-lebih isteri dan anak adalah amanat Ilahi yang perlu dijaga dan tidak boleh dibiarkan rusak. Syarat harus berlaku adil adalah untuk membantu suami agar dapat menjaga amanat Ilahi dengan lebih baik.
             Dalam poligami tidak ada masalah yang sulit sebagaimana yang dibayangkan banyak orang. Masalah poligami kembali pada penerapannya. Kesiapan seorang suami dituntut sebelum melakukan poligami, sama seperti kesiapan calon suami isteri untuk melakukan perkawinan. Semua perbedaan-perbedaan yang ada dibicarakan untuk ditanggulangi di kemudian hari. Dalam melakukan poligami paling sedikit ada tiga orang yang berperan penting. Pertama, suami kemudian isteri pertama dan terakhir isteri kedua, begitu seterusnya sampai isteri kempat. Namun yang paling berperan adalah sang suami.
             Berbicara mengenai penerapan poligami dapat ditinjau dari berbagai sudut, namun dengan tidak melupakan tiga syarat di atas. Tanpa mengindahkan ketiga syarat di atas, memang seseorang masih saja dapat melakukan poligami. Hal itu dikarenakan tidak adanya teks-teks agama yang mengharamkannya. Namun, hal itu akan memiliki dampak negatif yang luas:
             Pertama, orang akan memandang Islam mensyariatkan sesuatu yang malah memiliki akibat berbeda dari yang diinginkan. Inginnya memberi petunjuk namun malah membuat banyak orang memandang negatif kepadanya. Kedua, wanita-wanita yang menjadi “korban” poligami akhirnya membenci aturan syariat agama.
             Kedua hal inilah yang paling mendasar bagi mereka yang tidak meyakini atau sekurang-kurangnya tidak menerima hukum poligami. Benar, yang menanggungnya kedua-duanya adalah wanita. Akhirnya, poligami bukan hanya tidak memiliki tujuan-tujuan mulia bahkan isinya, kata sebagian orang, hanya dehumanisasi wanita.
             Satu hal yang sering terlupakan adalah penerapan yang akhirnya menimbulkan dampak negatif ini (baca: salah) disikapi sebagai pandangan Islam juga. Padahal, penerapan yang ada biasanya hanya mengambil halalnya saja, sementara syarat-syarat dan aturan-aturannya tidak pernah diperhatikan. Lebih dari itu, sebenarnya penerapan poligami lebih didominasi oleh budaya masyarakat setempat. Islam memiliki tuntunan-tuntunan berkaitan dengan poligami dan tidak hanya tiga syarat penting di atas. Namun ini tidak pernah diperhatikan dengan baik oleh mereka yang akan melakukan poligami. Dan di sisi lain, terdapat kelemahan ulama dalam mensosialisasikan masalah ini kepada masyarakat. Akan tetapi, ini bukan menjadi bukti bahwa penyelewengan yang dilakukan atas nama poligami semuanya bersumber dari Islam.
            



B.     Poligami Menurut Undang-Undang
             Bagaimana bunyi pasal tentang poligami dalam UUP ? berikut ini bunyi pasal-pasal tentang poligami yang ada pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 3 ayat 2 : Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
             Pasal 4 ayat 1 : Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pasal 4 ayat 2 : Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a). Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, b).Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
             Pasal 5. ayat 1 : Untuk dapat         mengajukan permohonan kepada pengadilan dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a). adanya persetujuan dari isteri/ isteri-isteri, b). adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. c). adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka. Pasal 5. ayat 2 : Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf (a) pasal ini tidak diperlakukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari iasterinya sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan
             Kemudian untuk menjawab secara singkat bagaimana proses peradilannya di Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam memutus pembolehan izin poligami terhadap perkara yang diajukan, pada asasnya Pengadilan Agama bersifat pasif, maka ketika ada pengajuan izin poligami dari seorang laki-laki, maka pengadilan akan memproses dengan menerima pendaftaran lalu memanggil para pihak, yaitu sang pemohon, kemudian isteri pertama (isteri-isterinya) pemohon dan bakal calon isteri yang akan dikawini, serta dua saksi yang akan semuanya akan dihadirkan dalam persidangan yang dibuka dan terbuka untuk umum. Hakim pengadilan akan melihat kenyataan yang ada apakah memang sesuai dengan apa yang ia mohonkan, dan apakah permohonan itu beralasan kuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jika memang telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang ada dalam UUP maka hakim akan mengabulkan permohonannya, akan tetapi jika tidak, maka hakim dapat pula menolak dengan tegas.
             Demikian halnya pada pengadilan agama Jombang sebagai instansi tempat penulis bekerja juga selalu demikian selektif dalam menetapkan mengabulkan ataupun menetapkan menolak permohonan pemohon didasrkan pada fakta-fakta yang terungkap pada persidangan.

C.     Pro Kontra Poligami
             Bagaimana pro kontra terhadap poligami ? Masalah poligami memang menjadi salah satu titik sentral kritik kaum feminis terhadap Undang-undang Perkawinan. Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Perempuan, berpendapat bahwa poligami adalah tindak kekerasan dan mengakibatkan ketidakadilan tidak saja bagi perempuan, namun juga bagi anak-anak. Nursyahbani menilai para pelaku poligami telah membelokkan makna ayat-ayat suci sesuai dengan kepentingannya sebagi pembenaran atas kesewenangan pemenuhan nafsu seksualnya.
             "Tidak ada satupun alasan yang cukup untuk membiarkan poligami di negeri ini. Bahkan ketika para pelaku poligami, menggunakan ayat-ayat suci sebagai pembenaran atas tindakannya, kenyataan menunjukkan bahwa mereka hanya mengedepankan nafsu belaka” jelasnya tegas. Sementara, fakta yang disajikan LBH-APIK terkait dengan praktek poligami menunjukkan  bahwa dari ratusan kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2004 sampai Juli 2008 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Selain itu, banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas. Poligami sebenarnya masih menjadi perdebatan alot di kalangan agamawan sendiri, khususnya di lingkungan Islam. Maria Ulfah Anshor, Ketua Umum PP Fatayat NU, misalnya. Ia berpendapat bahwa poligami seharusnya tidak dimasukkan dalam Bab I UUP tentang dasar perkawinan karena poligami bukan prinsip dasar perkawinan maupun prinsip dasar syar'iyah. Menurutnya bahwa "Poligami sebagai pengecualian yang amat sangat darurat dan harus diatur dalam pasal tersendiri lengkap dengan sanksi hukumnya,"
             Sebaliknya, ahli fikih lulusan Universitas Al-Azhar Mesir Prof. Huzaemah Tahido Yanggo menyatakan bahwa poligami telah sesuai dengan syariat Islam. Menurutnya, hak poligami bagi suami telah dikompensasi dengan hak isteri untuk menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu' yaitu ketika sang suami berbuat semena-mena terhadap isterinya, "… yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak mu'asyarah bi al-ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa' ayat 19" tegasnya.
             Dalam Undang-undang Perkawinan, poligami merupakan pengecualian dari asas perkawinan yang monogami. Poligami merupakan pintu darurat yang hanya bisa ditempuh jika dipenuhi sejumlah syarat yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan. Terkait syarat-syarat poligami, Penulis kiranya lebih cenderung mengikuti pendapat dari Hazairin atas dasar penafsiran terhadap al-Quran IV ayat 3 dan al-Quran IV ayat 127. "Prof. Hazairin menafsirkan kalau yang dipoligami itu bukan gadis, tapi janda yang punya anak yatim, bukan gadis, dan bukan anak yatimnya, tetapi ibu dari anak yatim yang perlu untuk dinikahi.
             Namun walau demikian kita perlu membandingkan antara hukum perkawinan kita dengan hukum perkawinan di negara Mesir, dimana di Mesir karena kehati-hatiannya, khawatir kontra produktif dengan Al-Qur’an yang membolehkan Poligami, maka di Negara ini membolehkan poligami bagi laki-laki walau tanpa izin dari isteri pertama, dengan pembatasan empat isteri, namun bagi isteri yang dirugikan (tidak diberi hak-haknya sebagai seprang isteri oleh suami dapat mengajukan/mengadukan ke pengadilan).
             Persoalan poligami selalu saja menjadi topik hangat pembicaraan para cendekiawan muslim. Pro dan kontra mengenai hukum melakukannya acap kali mewarnai berbagai media masa; baik elektronik ataupun cetak. Masih begitu terngiang di telinga kita tentang poligami dai kondang pelantun tembang “jagalah hati”; Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym) beberapa waktu yang lalu. Poligami Aa Gym ternyata tak hanya mengundang gejolak publik, bahkan SMS ke ponsel Presidenpun mengalir deras. Akhirnya, Presiden Yudhoyono secara khusus memanggil Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dan Dirjen Binmas Islam Nazzarudin Umar meminta revisi agar cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 (yang sudah direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami) diperluas, tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga pada pejabat negara dan pejabat pemerintah.
             Poligami adalah termasuk masalah serius yang selalu ditatap tajam oleh kalangan penggiat feminisme. Menurut mereka legalitas poligami dalam agama hanya akan mendorong martabat kaum hawa semakin terperosok kebelakang. Bahkan, menurut mereka, merebaknya poligami semakin menguatkan asumsi publik bahwa wanita hanya selalu dijadikan alat pelampiasan nafsu belaka oleh kaum adam. Sementara di sisi yang lain, sejumlah aktifis dakwah berkata lain mengenai legalitas poligami ini. Mereka justru berusaha untuk mensosialisasikan ke khalayak umum bahwa praktek poligami sudah mendapat stempel halal dari syariat.
             Menafikan praktek poligami secara serampangan dan gebyah uyah merupakan sikap yang sangat ceroboh. Karena hal itu dapat mengurangi fasilitas halal yang diberikan Sang Pencipta kepada hamba-Nya. Begitu juga sebaliknya, kampanye halal poligami dengan tidak mengindahkan lagi dampak dan efek negatif sosial, juga merupakan sikap yang tidak kalah cerobohnya. Karena umat lain atau bahkan umat islam sendiri yang belum siap menerima konsep itu justru akan lari dan menganggap agama islam adalah agama syahwat belaka.
             Adanya arus kuat gerakan anti poligami yang sering disuarakan oleh segelintir orang (baca: penggiat feminisme), hanyalah satu dari beberapa indikasi bahwa mereka kurang begitu memahami ruh agama islam itu sendiri secara komperhensif. Penolakan mereka umumkan didasarkan pada dugaan akan kemustahilan terwujudnya keadilan pada sosok pelaku poligami. Nah, karena keadilan yang merupakan kunci utama akan bolehnya poligami tidak mungkin untuk diwujudkan, maka secara otomatis poligami tidak bisa dilakukan.  Dalam hal ini, para penggiat feminisme acap kali menyetir ayat 129 surat An Nisa, yang menjelaskan bahwa manusia tidak akan pernah bisa berbuat adil selamanya. Ayat ini seakan menjadi senjata terampuh yang sering dibuat memangkas argumen lawan. Namun sayang sekali, penafsiran mereka terhadap ayat ini kurang mengenai sasaran maksud Allah. Sebab di dalam potongan ayat ini, para ahli tafsir justru cenderung mengartikan bahwan adil yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah berhubungan dengan hati (batin). Sedangkan, adil yang dituntut dalam surat An Nisa’ ayat 3 adalah berhubungan dengan urusan sandang, pangan dan papan (dhohir).
             Di sisi lain, muncul kelompok yang bersuara lantang untuk menentang wacana yang sudah ditebarkan oleh kalangan anti poligami. Dalam mensikapi hal ini, mereka cenderung berlebihan ketika berkampanye akan legalnya poligami dalam agama islam. Sehingga tidak jarang kita temui ada di antara para pendukung konsep poligami yang memberikan pelajaran pertama pada sang istri untuk sabar jika harus dipoligami. Hal semacam ini mengindikasikan, bahwa sang suami sejak dini memang sudah membulatkan tekad untuk berpoligami, tanpa adanya thowari’ (hal baru) yang dapat menjadi alasan kuat untuk berpoligami.
             Agama islam adalah agama solutif, yang dapat memberikan jalan keluar bagi manusia, di mana dan kapan saja. Karena agama ini selalu relevan di setiap jaman dan tempat (Sholihun Likulli Zaman Wal Makan). Tidak ada persoalan sosial kemasyarakatan yang tidak mempunyai landasan dalam hukum islam. Namun, persoalan yang sering dihadapi adalah ketidak mampuan para sarjana islam untuk menguak detail hukum islam tersebut. Akibatnya jelas, ketidak mampuan tersebut akan menimbulkan sempalan kelompok yang menafikan ajaran agama yang halal (tafrith). Di pihak kedua, lebih kepada penghalalan berlebihan (ifroth) sehingga hampir tidak mengindahkan lagi syarat-syarat yang njelimet dan ruwet serta sulit itu, yang berakhir pada slogan “poligami adalah tren masa kini”.
             Untuk mengatasi polimik sosial ini, kita harus tetap pada ruh dasar yang sudah menjadi ciri khas agama ini; I’tidal/ Wasathiyah (moderat). Dengan berbekal sikap ini, diharapkan konklusi hukum yang dicapai tidak akan merugikan pihak manapun; baik suami atapun istri.
             Permasalahan poligami ini mempunyai beberapa hukum yang berbeda sesuai dengan di mana, kapan dan dalam keadaan apa poligami itu dilakukan. Hal ini persis kaitannya dengan hukum pernikahan (non poligami) dalam islam. Tentunya kita semua tahu bahwa asli dari hukum pernikahan itu adalah sunnah. Bahkan Nabi menggolongkan orang yang enggan untuk menikah bukan termasuk dari barisan Beliau (kaum muslimin). Akan tetapi dalam praktik di lapangan, para ulama justru tidak menggunakan satu hukum baku “sunnah” dalam memberi lebel status sebuah pernikahan seseorang. Konsensus ulama dalam hal ini yang kita ketahui adalah pembagian hukum pernikahan sesuai dengan pembagian hukum “taklify” yang ada; wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Nah, dari sini dapat kita ketahui bahwa hukum pernikahan yang asal mulanya adalah sunnah bisa jadi berubah menjadi wajib atau bahkan haram, sesuai di mana, kapan dan kepada siapa vonis hukum itu hendak dijatuhkan.
             Cara memberikan hukum pada praktek poligami tidak jauh berbeda dari praktek pada pernikahan yang ada. Dengan kata lain, hukum poligami bisa menjadi wajib, jika seseorang mengkhawatirkan dirinya terjatuh pada jurang perselingkuhan, jika tidak berpoligami. Sebaliknya, poligami dapat juga berubah hukum menjadi haram, jika pelaku poligami dalam prakteknya mempunyai skenario jahat yang akan merugikan pihak istri pertama atau calon istri kedua secara khusus, serta keluarga dan masyarakat  pada umumnya. Di sinilah fungsi ahlul ilmi (ulama) untuk mendudukkan permasalah poligami ini sesuai pada porsinya. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwa praktek poligami yang terjadi di masyarakat dewasa ini justru tidak membawa dampak yang positif baik bagi pelaku, masyarakat ataupun lebih-lebih agama islam itu sendiri. Pelaksaan poligami yang kurang tepat justru akan mengakibatkan penodaan secara tidak sengaja pada agama islam ini.
            



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
  1. Mencermati paparan diatas, dalam masalah poligami sebenarnya sangat sulit dilakukan jika sesuai dengan UUP, karena sebenarnya UUP tetap menganut asas monogami, maka penulis pribadi cenderung untuk mempertahankan Undang-undang Perkawinan yang masih berlaku hingga kini.
  2. Penulis memandang, para pengusul revisi hanya memandang perkawinan dari sudut persamaan gender, diskriminasi, bukan juga berdasar dari kaca mata agama.
  3. Apapun pendirian yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, yaitu yang pro poligami dan yang anti poligami semuanya layak untuk dihargai. Dalam Islam pun dikenal bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) di tengah-tengah masyarakat merupakan tanda kasih sayang Tuhan. Jika harus berbenturan dalam forum diskusi, utarakanlah argumen-argumen yang mendukung, dengan memakai etika diskusi ilmiah sebagai seorang yang menghargai perbedaan. Dan karena ini adalah negara hukum, yang semuanya berdiri diatas konstitusi, maka Undang-undang Perkawinan yang saat ini masih berlaku, wajib untuk dihormati dan dijunjung semua orang, sampai kelak ada undang-undang lain yang menggantikannya.

B.     Saran
  1. Hendaknya bagi para penegak hukum terutama para hakim, khususnya hakim Pengadilan Agama untuk selalu belajar dan mengkaji lebih jauh tentang pembolehan poligami dalam UUP, agar dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim selalu sesuai dengan hukum yang berlaku. Dan juga berdasarkan fakta yang ada dalam persidangan, serta tidak segan untuk selalu memerilksa ulang kembali jika ada yang merasa dirugikan dengan putusannya, agar putusan-putusan yang akan dijatuhkan kelak nyaris pada kesempurnaan.
  2. Hendaknya adanya kontinuitas diskusi perundang-undangan yang masih menimbulkan probabilitas (multitafsir) dalam pasal atau ayatnya, untuk mendapatkan formulasi atau rumusan yang tidak membingungkan para pencari keadilan, dan tentunya peran politik hukum (legal policy) di indonesia sangatlah urgen dalam mengatasi berbagai masalah yang sering terjadi dalam masyarakat, karena disisi lain living law sebagai muara dari sistem common law (sebenarnya lebih dekat pada kultur kita) memang belum bisa mewarnai negara Indonesia yang sekian lama telah di doktrin oleh Belanda untuk ”dipaksa” memakai sistem civil law yang terkadang hanya bermuara pada legalitas belaka, tanpa melihat sisi keadilan yang seutuhnya,
  3. Semoga dengan misi selangkah lebih maju, Peradilan Agama yang kini kembali berbenah, khususnya wilayah PTA Jawa Timur dengan ”perang” websitenya, TV Plasmanya, pelayanannya, dan jam kerja yang kian disiplin, akan menemui Peradilan yang benar-benar (nyaris) mewujudkan keadilan bagi seluruh ummat.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Al-Quranul Karim (Terjemahan)
2.      Dr. A. Azis, dkk. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta, 1989.
3.      Prof. Dr. H. Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, Jakarta. 1996.
4.      H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam. Ath-Thahiriah. Jakarta. 1993
5.      www.wikipedia.com

1 komentar: